Tampilkan postingan dengan label Japan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Japan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Agustus 2019

Tim Fingertalk Indonesia Sabet Juara 1 Daigaku SDGs Action Award di Jepang

ACEHTREND.COM, Tokyo – Tim Fingertalk Indonesia yang terdiri atas Dissa Syakina Ahdanisa, Hijrah Saputra, dan Muhammad Rizqi Ariffi menyabet juara 1 Daigaku SDGs Action Award di Tokyo, Jepang. Tim ini terpilih menjadi salah satu dari 12 tim yang mempresentasikan idenya di depan dewan juri di Tokyo pada 20 Februari 2019.
Grand Prix Daigaku SDGs Action Awards 2019 Asahi Shimbun Japan
Dissa Syakina Ahdanisa melalui keterangan tertulis yang diterima aceHTrend mengatakan, Tim Fingertalk merupakan satu-satunya tim yang berasal dari Indonesia.
“Daigaku SDGs Action Award adalah program yang diadakan oleh perusahaan media cetak terbesar di Jepang, Asahi Shimbun, untuk mahasiswa-mahasiswa yang memiliki ide untuk membantu mendukung program-program Sustainable Development Goals (SDGs). 
SDGs adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
SDGs diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan.  Memiliki 17 tujuan, seperti pemberantasan kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan yang sehat dan sejahtera, pendidikan yang berkualitas, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi yang layak, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, industri, inovasi dan infrastruktur, berkurangnya kesenjangan, kota dan permukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, aksi untuk perubahan iklim, konservasi ekosistem laut, konservasi ekosistem darat, perdamaian keadilan dan kelembagaan yang tangguh dan kemitraan untuk mencapai tujuan. 
“Tim Fingertalk terpilih dengan membawa pesan dari teman-teman tuli (tunarungi) yang berada di Indonesia. Selama ini Fingertalk fokus untuk pemberdayaan pemuda-pemuda yang memiliki kebutuhan khusus seperti tuli dan disabilitas lainnya,” kata Dissa, Kamis (21/2/2019).
Bersama dengan Tim Fingertalk telah membuka empat buah kafe yang semua pekerjanya merupakan tunarungu dan penyandang disabilitas lainnya. Tidak hanya kafe, Fingertalk juga membuka carwash dan workshop untuk membuat boneka satwa langka Indonesia.
Setelah presentasi di depan 10 juri, Tim Fingertalk berhasil terpilih sebagai pemenang utama, Fingertalk dipilih karena memiliki produk yang unik, tujuan yang jelas, dan membawa pesan inklusi dari dari Indonesia.
Atas pencapaian tersebut, Tim Fingertalk mendapat hadiah uang sebesar 500.000 yen, yang digunakan untuk pengembangan produk boneka satwa langka Indonesia. Hadiah diberikan langsung oleh Ichiro Ishida, Direktur Marketing Strategy The Asahi Shimbun Japan. 
“Tim Fingertalk berharap semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya dan menjalankan hidup,” kata Dissa.[]
Sumber : AcehTrend
Editor : Ihan Nurdin

Selasa, 22 Januari 2019

Mengunjungi Perkebunan Jamur Shiitake Kunisaki yang Ramah Lingkungan

Masyarakat di Jepang terkenal sangat menghormati alam dan lingkungan mereka. Cara mereka menjaga alam sudah dimulai sejak kecil, sebelum anak-anak berumur 10 tahun, mereka tidak diberikan ujian di sekolah tetapi diajarkan bagaimana hidup dengan baik. Mereka belajar mengurus hewan, menghormati orang dan memahami alam. Mereka diajarkan nilai-nilai kehidupan seperti pengendalian diri, tanggung jawab dan bersikap adil.
Perkebunan Shiitake Kunisaki, Oita Jepang
Banyak juga festival yang melibatkan anak-anak untuk mengajarkan mereka menghormati alam. Salah satunya festival untuk menghormati tokoh pendiri pemandian air panas di daerah Kannawa, Beppu. Mereka diajarkan mengucapkan terima kasih dan berjanji untuk melanjutkan perjuangan beliau untuk terus menjaga air yang ada di daerah mereka.

Begitu pun konsep mereka untuk menggunakan alam menjadi lahan yang menghasilkan tetapi juga bisa terus berlanjut, ada satu konsep yang dikenal dengan Satoyama dan Satoumi. Konsep Satoyama dan Satoumi pertama kali dicetuskan oleh Profesor Tetsuo Yanagi dari Kyushu University di tahun 1998. Dalam bahasa Jepang "sato" berarti desa dan "umi" berarti laut sehingga Yanagi mendefinisikan "satoumi" sebagai "produktivitas tinggi dan keanekaragaman hayati di wilayah laut pesisir dengan interaksi manusia.”

Satoyama merupakan konsep Jepang untuk tradisi lama yang terkait dengan praktek-praktek pengelolaan lahan. Di masa lalu tradisi tersebut mendorong pemanfaatan berkelanjutan sumber daya melalui hubungan manusia dengan ekosistem yang memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Salah satu konsep Satoyama adalah perkebunan jamur Shiitake yang berada di semenanjung Kunisaki yang berada di Perfecture Oita. Hasil perkebunan Shiitake di Kunisaki ini termasuk yang terbesar di Jepang, hampir 49% produksi Shiitake terbaik di Jepang berasal dari sini dan dijual hingga ke luar negeri.

Jamur Shiitake yang ada di perkebunan di Kunisaki ditanam dengan menggunakan media kayu, kayu yang digunakan merupakan pohon Tomogi, memiliki kualitas kayu terbaik. Kayunya juga diambil dari hutan yang sudah mereka persiapkan sehingga tidak mengganggu lingkungan yang ada, bagian kayu yang diambil merupakan bagian atas pohon sedangkan bagian akarnya tetap ditinggalkan sehingga bisa menjaga tanah di lahan tersebut dan dalam waktu setahun bisa menghasilkan empat hingga lima tunas baru, jadi hutan bisa rimbun kembali.

Bersama dosen-dosen pengajar Pariwisata Ritsumeikan Asia Pacific University dan pengelola perkebunan

Kayu yang digunakan menjadi media tanam pun bisa bertahan hingga lima tahun untuk menghasilkan jamur terbaik, setelahnya kayu tersebut akan hancur dan menjadi nutrisi bagi lahan perkebunan dan juga untuk ikan-ikan yang berada di sungai dan laut di daerah tersebut.

Istilah "satoumi" berasal dari "satoyama" yang Japan Satoyama Satoumi Assessment (JSSA) mendefinisikan satoyama dan satoumi sebagai "mosaik dinamis sistem sosio-ekologi teratur yang memproduksi ekosistem bagi kesejahteraan manusia."

Senin, 31 Desember 2018

Mochi dari Hati

Salah satu makanan favorit saya di Jepang adalah Mochi, kue kenyal berisi rasa manis beraneka rasa, belum lagi kalua dibalur dengan wijen, beuh….. pecaaaaah, duh jadi laper.
Walaupun di Indonesia ada juga daerah yang membuat Mochi, yang sama enaknya dengan yang ada di Jepang, tapi masak iya harus pulang ke Indonesia buat makan Mochi? Jadi kita focus dengan Mochi yang ada di Jepang, ini apaan sih? #EfekLapar 
Ya walaupun katanya Mochi bukan asli berasal dari Jepang, katanya dari Cina, nanti kita akan cari tahu kebenaran datanya ya.

Proses pencucian beras ketan
Kali ini saya dapat kesempatan untuk belajar membuat mochi ala Jepang, kue kenyal yang terbuat dari beras ketan (sticky rice) ini sejak Jaman Heian (794-1185) sudah menjadi makanan tradisi yang dimakan ketika perayaan tahun baru.

Menurut Orang Jepang, tahun baru dimulai dengan memakan Mochi karena berharap tahun ke depannya akan terus panjang seperti kekenyalan Mochi dan manis seperti isi dalamnya Mochi.

Bagi orang Jepang membuat Mochi atau membeli Mochi yang dibuat oleh tangan mempunyai nilai tersendiri dibandingkan dengan Mochi yang dibuat oleh mesin, tapi tantangan selanjutnya adalah pembuatan Mochi dengan tangan ini ternyata memiliki kerumitan tersendiri dan sudah memiliki system tersendiri, setiap orang dalam proses pembuatan Mochi sudah memiliki peran dan waktunya masing-masing, jadi bila ada satu komponen yang kurang, maka Mochi yang dihasilkan akan berbeda rasanya. Misalnya ketika proses pencucian beras ketan, waktu yang digunakan harus sesuai dengan waktu yang ditentukan, kalau kurang atau lebih akan mengganggu aktivitas yang lain dan berefek juga pada rasanya.

Ada beberapa jenis Mochi yang dibuat ketika menyambut tahun baru, seperti Marumochi, mochi yang berukuran kecil yang nantinya akan dimakan. Kemudian ada lagi Kagami Mochi yang ukurannya lebih besar, biasanya digunakan untuk panjangan di altar, biasanya ditumpuk dengan mochi yang ukuran berbeda dan sebuah jeruk di puncaknya. 

Marumochi
Kagami Mochi
Proses packing 
Yang menariknya dari proses membuat mochi ini para pekerjanya melakukan dengan senang hati, karena katanya kalua bekerja dengan hati maka hasilnya akan dirasakan oleh penikmatnya, itu juga yang saya rasakan ketika ikut bekerja dengan para pembuat mochi ini yang kebanyakan memang sudah nenek-nenek dan kakek-kakek. Karena itulah, mochi yang saya bikin ini, saya bikin dengan hati ๐Ÿ’–๐Ÿ’–๐Ÿ’–