Senin, 14 April 2014

Berpetualang di Negeri Kopi


“Bukan Lautan hanya Kolam Susu, Kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai dan topan kutemui, ikan dan udang menghampiri dirimu, orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” ( Kusplus - Kolam Susu)

Kota Takengon
Lagu dari Kusplus ini sangat cocok sekali untuk menggambarkan keindahan dan potensi alam di Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.

Perjalanan kali ini aku mengunjungi Negeri di atas Awan, sebutan untuk Kota Takengon, dikarenakan daerahnya yang berada di dataran tinggi dan seringkali ditutup dengan kabut yang menyerupai awan. Butuh kurang lebih 8 Jam perjalanan menuju Takengon dari Banda Aceh dengan kendaraan L300, hanya dengan Rp.90.000.

Sepanjang perjalanan menuju Kota Takengon, mata kita dimanja dengan pemandangan yang hijau. Tapi siapa sangka, pemandangan hijau nan indah itu merupakan pemandangan yang bernilai jutaan rupiah. Ya, tanaman itu kebun Kopi. Tapi bukan sembarangan kopi, kopi yang ada di Takengon ini sudah terkenal ke seluruh penjuru dunia, siapa yang tak kenal dengan Kopi Gayo? Ya, selain Negeri di Atas Awan, Kota ini juga sering disebut dataran tinggi Gayo, karena masyarakat asli disini merupakan Suku Gayo. Kopi yang berasal dari Gayo ini sudah mendapat sertifikat Indikasi Geografi (IG) terutama Kopi Arabika-nya. Sertifikat Indikasi Geografi ini merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, alam, manusia ataupun kombinasinya, sehingga menghasilkan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan (Pasal 1 PP RI No 51 Tahun 2007), berarti Kopi Arabika Gayo ini cuma dan hanya bisa dihasilkan di daerah Takengon dan sekitarnya. Hebatnya lagi kenikmatan Kopi Arabika Gayo ini sudah diakui oleh Internasional, sebagai orang Indonesia, aku bangga kita memiliki potensi seperti ini.
Aku berkesempatan bertemu langsung dengan salah satu pengusaha kopi asal Bener Meriah, Haji Yusrin. Beliau mengelola Cafe Bergendaal Koffie, di daerah Teritit, Bener Meriah. Sebelumnya Bener Meriah ini merupakan bahagian dari Aceh Tengah, namun mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Bener Meriah. Pertemuanku dengan Haji Yusrin ini bisa dibilang keberuntungan tersendiri, pertemuan yang tak diduga. aku berkenalan dengan seorang teman di salah satu jejaring sosial, dengan akun @Syukritakengon, aku memanggil beliau Pak Syukri, dari beliau aku belajar banyak hal tentang Kopi, karena sebagai pencinta kopi beliau tahu cita rasa kopi yang terbaik, sampai akhirnya aku diajak bertemu dengan Pak Haji Yusrin di Bergendaal Koffie. 

Sebelumnya aku diberikan ujian untuk merasakan perbedaan antara kopi yang selama kunikmati di Banda Aceh dengan kopi yang ada di Bergendaal Koffie, aku diminta minum Black Coffee-nya tanpa gula! Aku yang selama ini bukan penggemar kopi, harus mencoba kopi hitam yang disajikan tanpa gula (---__---!). Tapi jujur setelah menikmati Kopi Arabika yang berasal dari Gayo ini, benar-benar bisa merasakan kenikmatan berkopi. 
Setelahnya aku diajak berkeliling oleh Haji Yusrin, mengenal kopi lebih jauh, beliau dengan senang hati memberikan penjelasan tentang kopi, beliau memiliki kebun kopi sendiri dan mengelola kopi hingga menjadi kopi Bergendaal yang nikmat itu. Nama Bergendaal Koffie itu juga memiliki sejarah tersendiri. Bergendaal berasal dari bahasa Belanda yang artinya Bukit dan Lembah, Jadi Bergendaal Koffie ini bisa diartikan sebagai Kopi yang berasal dari Bukit dan Lembah Tanah Gayo. Menurut beliau, sebenarnya nama itu dulu pernah dipakai oleh perusahaan belanda yang pernah ada disana, dan sudah didaftarkan sebagai merk dagang begitu juga Kopi Gayo. Begitulah kita ya, sering sekali potensi yang kita miliki diklaim menjadi hak paten orang lain, tapi untungnya kita sudah memiliki Indikasi Geografi yang artinya tidak bisa diproduksi di tempat lain, selain di tempat tersebut.

Dari haji yusrin aku belajar jenis-jenis biji kopi, ternyata tak sesimpel yang aku bayangkan, ada banyak jenis biji kopi disini, mulai hijau, kuning, hitam, arabika, robusta dan yang paling jadi primadona saat ini Kopi Luwak. Kopi Luwak pun ternyata ada jenisnya, Luwak alami dan Luwak ternak. Kata beliau rasa kopi Luwak yang alami lebih mantap dibandingkan yang ternak, selain yang alami itu yang dimakan adalah Kopi Arabika pilihan dan mengalami proses yang alami tidak seperti Luwak yang diternak. Luwak pun juga tidak sembarang Luwak yang bisa menghasilkan Kopi Luwak, hanya yang memiliki moncong hitam dan moncong putih. Pantas ya kenapa Kopi Luwak itu mahal.

Sempat kubertanya dengan Haji Yusrin mengapa beliau tertarik dengan usaha Kopi? Beliau berkata, “ini potensi besar yang kita miliki, sudah sepantasnya kita memanfaatkan secara optimal, kita menghargai apa yang kita punya sehingga nantinya orang lain bisa menghargai kita”.

Senang sekali bisa bertemu dengan orang seperti Pak Syukri dan Haji Yusrin ini, beliau-beliau ini termasuk orang yang sadar dengan potensi yang dimiliki, menurutku dengan mengoptimalkan potensi yang kita miliki juga termasuk cara kita mensyukuri nikmat yang diberikan.

Semoga Kopi Gayo ini bisa menjadi kebanggaan kita Bangsa Indonesia.
Perjalananku pun berlanjut, ikuti terus ya (^-^)

4 komentar:

  1. Menghargai apa yang kita miliki, budaya, pariwisata, atau lebih khusus lagi mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilki, maka mudah-mudahan dapat melejitkan potensi diri. Nasehat yang amat berkesan dari Haji Yusrin ... :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, apalagi nasehat dari orang tua yang sudah banyak pengalaman :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Negeri Kopi kak, bukan kebun kopi :D, tapi foto kebun kopinya ada di sini

      http://hijrahheiji.blogspot.com/2014/02/taman-rumah-impian.html

      Hapus