“Bukan Lautan hanya
Kolam Susu, Kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai dan topan kutemui,
ikan dan udang menghampiri dirimu, orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat
kayu dan batu jadi tanaman” ( Kusplus - Kolam Susu)
Lagu dari Kusplus ini sangat
cocok sekali untuk menggambarkan keindahan dan potensi alam di Kota Takengon,
Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh.
Perjalanan kali ini aku
mengunjungi Negeri di atas Awan, sebutan untuk Kota Takengon, dikarenakan daerahnya
yang berada di dataran tinggi dan seringkali ditutup dengan kabut yang
menyerupai awan. Butuh kurang lebih 8 Jam perjalanan menuju Takengon dari Banda Aceh dengan kendaraan L300, hanya dengan Rp.90.000.
Sepanjang perjalanan menuju Kota
Takengon, mata kita dimanja dengan pemandangan yang hijau. Tapi siapa sangka,
pemandangan hijau nan indah itu merupakan pemandangan yang bernilai jutaan
rupiah. Ya, tanaman itu kebun Kopi. Tapi bukan sembarangan kopi, kopi yang ada
di Takengon ini sudah terkenal ke seluruh penjuru dunia, siapa yang tak kenal
dengan Kopi Gayo? Ya, selain Negeri di Atas Awan, Kota ini juga sering disebut
dataran tinggi Gayo, karena masyarakat asli disini merupakan Suku Gayo. Kopi
yang berasal dari Gayo ini sudah mendapat sertifikat Indikasi Geografi (IG)
terutama Kopi Arabika-nya. Sertifikat Indikasi Geografi ini merupakan suatu
tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan
geografis, alam, manusia ataupun kombinasinya, sehingga menghasilkan ciri dan
kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan (Pasal 1 PP RI No 51 Tahun 2007),
berarti Kopi Arabika Gayo ini cuma dan hanya bisa dihasilkan di daerah Takengon
dan sekitarnya. Hebatnya lagi kenikmatan Kopi Arabika Gayo ini sudah diakui
oleh Internasional, sebagai orang Indonesia, aku bangga kita memiliki potensi
seperti ini.
Aku berkesempatan bertemu
langsung dengan salah satu pengusaha kopi asal Bener Meriah, Haji Yusrin.
Beliau mengelola Cafe Bergendaal Koffie, di daerah Teritit, Bener Meriah.
Sebelumnya Bener Meriah ini merupakan bahagian dari Aceh Tengah, namun
mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Bener Meriah. Pertemuanku dengan
Haji Yusrin ini bisa dibilang keberuntungan tersendiri, pertemuan yang tak
diduga. aku berkenalan dengan seorang teman di salah satu jejaring sosial,
dengan akun @Syukritakengon, aku memanggil beliau Pak Syukri, dari beliau aku
belajar banyak hal tentang Kopi, karena sebagai pencinta kopi beliau tahu cita
rasa kopi yang terbaik, sampai akhirnya aku diajak bertemu dengan Pak Haji
Yusrin di Bergendaal Koffie.
Sebelumnya aku diberikan ujian
untuk merasakan perbedaan antara kopi yang selama kunikmati di Banda Aceh
dengan kopi yang ada di Bergendaal Koffie, aku diminta minum Black Coffee-nya
tanpa gula! Aku yang selama ini bukan penggemar kopi, harus mencoba kopi hitam
yang disajikan tanpa gula (---__---!). Tapi jujur setelah menikmati Kopi Arabika
yang berasal dari Gayo ini, benar-benar bisa merasakan kenikmatan berkopi.
Setelahnya aku diajak berkeliling
oleh Haji Yusrin, mengenal kopi lebih jauh, beliau dengan senang hati
memberikan penjelasan tentang kopi, beliau memiliki kebun kopi sendiri dan
mengelola kopi hingga menjadi kopi Bergendaal yang nikmat itu. Nama Bergendaal
Koffie itu juga memiliki sejarah tersendiri. Bergendaal berasal dari bahasa
Belanda yang artinya Bukit dan Lembah, Jadi Bergendaal Koffie ini bisa
diartikan sebagai Kopi yang berasal dari Bukit dan Lembah Tanah Gayo. Menurut
beliau, sebenarnya nama itu dulu pernah dipakai oleh perusahaan belanda yang
pernah ada disana, dan sudah didaftarkan sebagai merk dagang begitu juga Kopi
Gayo. Begitulah kita ya, sering sekali potensi yang kita miliki diklaim menjadi
hak paten orang lain, tapi untungnya kita sudah memiliki Indikasi Geografi yang
artinya tidak bisa diproduksi di tempat lain, selain di tempat tersebut.
Dari haji yusrin aku belajar
jenis-jenis biji kopi, ternyata tak sesimpel yang aku bayangkan, ada banyak
jenis biji kopi disini, mulai hijau, kuning, hitam, arabika, robusta dan yang
paling jadi primadona saat ini Kopi Luwak. Kopi Luwak pun ternyata ada
jenisnya, Luwak alami dan Luwak ternak. Kata beliau rasa kopi Luwak yang alami
lebih mantap dibandingkan yang ternak, selain yang alami itu yang dimakan
adalah Kopi Arabika pilihan dan mengalami proses yang alami tidak seperti Luwak
yang diternak. Luwak pun juga tidak sembarang Luwak yang bisa menghasilkan Kopi
Luwak, hanya yang memiliki moncong hitam dan moncong putih. Pantas ya kenapa
Kopi Luwak itu mahal.
Sempat kubertanya dengan Haji
Yusrin mengapa beliau tertarik dengan usaha Kopi? Beliau berkata, “ini potensi
besar yang kita miliki, sudah sepantasnya kita memanfaatkan secara optimal,
kita menghargai apa yang kita punya sehingga nantinya orang lain bisa
menghargai kita”.
Senang sekali bisa bertemu dengan
orang seperti Pak Syukri dan Haji Yusrin ini, beliau-beliau ini termasuk orang
yang sadar dengan potensi yang dimiliki, menurutku dengan mengoptimalkan
potensi yang kita miliki juga termasuk cara kita mensyukuri nikmat yang
diberikan.
Semoga Kopi Gayo ini bisa menjadi
kebanggaan kita Bangsa Indonesia.
Perjalananku pun berlanjut, ikuti terus ya (^-^)
Menghargai apa yang kita miliki, budaya, pariwisata, atau lebih khusus lagi mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilki, maka mudah-mudahan dapat melejitkan potensi diri. Nasehat yang amat berkesan dari Haji Yusrin ... :-)
BalasHapusBetul sekali, apalagi nasehat dari orang tua yang sudah banyak pengalaman :)
HapusMana foto kebun kopinya? :p
BalasHapusNegeri Kopi kak, bukan kebun kopi :D, tapi foto kebun kopinya ada di sini
Hapushttp://hijrahheiji.blogspot.com/2014/02/taman-rumah-impian.html