Tampilkan postingan dengan label Bengkulu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bengkulu. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Oktober 2015

Ini Dia Kain-kain Tradisional Yang Wajib Dicari di Sumatera


Buatku kain tradisional atau yang dikenal juga dengan wastra Citra, selalu menjadi cerita menarik tersendiri. Setiap aku melakukan perjalanan kemana pun di Indonesia selalu berusaha untuk mencari kain yang khas di daerah tersebut. Sebut saja Batik di Jawa, kain Kerawang Gayo di Aceh Tengah, Tenun di Kupang, Suji Cair di Koto Gadang, Kain Basurek di Bengkulu, Tapis di Lampung dan masih banyak lagi lainnya.

Aku tertarik dengan kain tradisional Indonesia pada mulanya karena warna dan detail gambarnya. Sebagai seorang yang bekerja di dunia desain grafis, kain-kain tersebut menjadi inspirasi buatku untuk membuat desain-desain. Selain itu ada perasaan senang jika mengenakan kain tradisional Indonesia, terutama seperti batik ataupun tenun, aku merasa seperti sedang memakai lukisan di badan, hehe.

Tapi ternyata tidak hanya itu, di dalam proses pembuatan kain tersebut juga mengandung cerita dari perjalanan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal itu yang membuatku semakin tertarik untuk mengoleksi kain-kain tradisional yang ada di seluruh Indonesia dan itu membuatku mendapatkan perjalanan yang tak terlupakan.

Sempat suatu hari ketika selesai program Sail Raja Ampat, aku memutuskan untuk menyusuri pantai barat pulau sumatera. Selain tujuan bersilaturrahmi dengan teman-teman seangkatan ketika Program Sail Morotai, aku juga mencuri kesempatan untuk mencari tahu kain tradisional yang ada di daerah mereka, dan yang pasti untuk koleksi, hehe.

Perjalanan Pertama kumulai dari Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Aku suka dengan Kota Bandar Lampung karena hampir di setiap sudut kotanya ada motif-motif khas Lampung, ada Siger, Gajah, Kapal dan masih banyak lagi motif lainnya, ini yang membuatku semakin penasaran ingin melihat langsung proses pembuatan Kain Tapis dan Batik Lampung.
Tembok yang menarik seperti ini, ada banyak di Bandar Lampung!
Ternyata menurut sejarah, Lampung sudah mengenal seni tekstil sejak abad ke-18. Ragam seni tekstil Lampung ada banyak, antara lain Kain Tapis (kain tenun ikat), Bidak, Sebage, Teppal, Selekap, Cindai, Peleppai (kain bermotif kapal), dan Nampan. Namun kebanyakan orang mengenal Lampung dari kain tapisnya. Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungan maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Kain tapis digunakan sebagai pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam. Kain ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung. Aku dan beberapa teman, Sujarwo, Qyoko dan Melyana berkesempatan melihat langsung ke tempat produksi Kain Tenun dan Batik Lampung di Ruwai Juwai, di daerah Bambu Kuning. Sekilas terlihat seperti rumah biasa, tapi ternyata aktivitas di dalamnya, luar biasa, ada banyak karya kreatif di sana!
Proses Pemisahan Benang dengan Mesin
Proses pemisahan benang secara konvensional
Proses tenun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin)
Motif-motif Batik Lampung yang berkembang saat ini merupakan sebagian diambil dari motif-motif pada kain tradisional Lampung yang telah berkembang sebelumnya. Banyak motif batik Lampung dimodifikasi yang bermunculan. Seperti motif Gamolan, Siger, Kupu-kupu, dan Gajah. Ini menunjukkan perkembangan budaya yang diaplikasikan ke dalam motif batik yang diangkat dari akar budaya daerah masing-masing.
Perjalanan kedua, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu
Di Bengkulu aku kesulitan untuk mencari para pengrajin kain tradisionalnya, Kain Besurek, kain yang didalamnya terdapat surat, lucu ya. Ada lagi yang khas dari Bengkulu yaitu baju dari bahan Lantung.
Lantung sendiri berasal dari Pohon lantung yang bernama latin Artocarpus altilis adalah salah satu pohon endemik yang ada di hutan-hutan kawasan selatan Pulau Sumatera dan sejak dulu kala. Kulit lantung dikenal masyarakat Bengkulu sejak masa penjajahan Jepang tepatnya pada 1943 atau satu tahun Jepang menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Faktor kerasnya hidup, kerasnya tekanan penjajah menjadikan keadaan perekonomian menjadi berat sehingga menyulitkan masyarakat dalam mencari atau membeli pakaian atau katun. Oleh karena itu timbul ide untuk mencari pengganti kain sebagai pelindung tubuh, maka muncul ide pembuatan kain lantung sebagai alternatif. Artinya, kulit Lantung merupakan bagian dari perjalanan kelam sejarah bangsa Indonesia.
 
Tetapi sekarang Masyarakat Bengkulu membuat kain untuk pakaian hanya digunakan untuk acara-acara kesenian tertentu dan lebih banyak dijual untuk masyarakat di Papua Barat dan Papua, lucu ya.

Kabar gembiranya, salah satu temanku, Sherly di Bengkulu, adalah pengrajin Lantung, jadi aku bergegas ke tempatnya untuk melihat proses pembuatannya. Tapi sayang, Tuhan berkata lain, ketika aku sampai di rumahnya, Sherly baru saja kecelakaan beberapa hari sebelumnya, jadinya semua aktivitas produksi Lantung diberhentikan sementara, daaan..... seperti info sebelumnya, semua bahan yang digunakan untuk bahan pakaian, dijual ke Papua, hehe. Tapi tak mengapa, setidaknya aku jadi tahu Lantung.
Sherly dan produk-produknya terbuat dari Lantung
Baju dari Lantung, Raja Ampat Expo
Bisa jadi baju adat Papua yang terbuat dari kulit kayu ini berasal dari masyarakat di Bengkulu, bisa jadi, hehe.

Perjalananku selanjutnya ke Padang Panjang, Sumatera Barat
Menikmati keindahan alam Koto Gadang menjadi satu paket sendiri jika kita mengunjungi Padang Panjang dan Bukit Tinggi, karena letaknya tidak terlalu berjauhan. Koto Gadang adalah salah satu bagian dari Kabupaten Agam. Selain terkenal dengan pengrajin peraknya dan juga dikenal dengan Suji Cair-nya.

Suji cair atau yang sering disebut juga Suji Caia adalah jenis sulaman selendang khas Sumatera Barat. Sulaman ini menggunakan warna benang berbeda atau menggunakan gradasi warna benang. Selendang Suji Cair ini biasanya menggunakan bahan sutra atau satin berukuran lebar 55 sentimeter sampai 60 sentimeter dan panjang 1,8 meter hingga 2 meter.
Selendang Suji Cair
Proses pembuatan Suji Cair yang ini hampir 1 tahun
Sulaman selendang ini bisa menjadi koleksi kerajinan yang layak dimiliki para kolektor Wastucitra, karena Suji Cair memiliki desain dengan motif halus. Motif bunga dan daun suji dibuat dengan benang sutra atau satin, dengan lima sampai enam tingkatan warna. Benang disulamkan bergantian, hingga terjadi percampuran warna benang yang membentuk bayangan tiga dimensi. Perpaduan warna satu benang yang mencair di atas warna benang lain ini yang membuatnya disebut suji cair. Suji Cair juga mengandung falsafah kehidupan alam takambang jadi guru, alam dan lingkungan menjadi sumber adat istiadat yang harus dilestarikan. Satu lagi keunggulan sulam Koto Gadang ini banyak dipengaruhi oleh sulaman Cina.

Saat ini motif sulaman yang tengah dikembangkan adalah motif Bunga Dahlia. Bunga cantik yang memiliki banyak warna ini sering dijumpai di Bukit Tinggi. Pada mulanya bunga ini berasal dari Meksiko yang kemudian dibawa ke Eropa oleh bangsa Portugis dan masuk ke Indonesia dibawa oleh Belanda. Sekarang dijadikan bunga khas Bukit Tinggi dan menjadi inspirasi untuk sulaman Suji Cair.
Motif Bunga Dahlia
Rumah Amai Setia
Pengerjaannya Suji Cair juga harus rapi dan halus untuk mendapatkan sulaman indah, jadi tidak heran jika, waktu pengerjaannya mencapai tiga bulan hingga lebih untuk satu buah selendang. Harga untuk sebuah selendang cantik Suji Cair mulai dari Rp.500.000 hingga Rp.5.000.000, tergantung dari tingkat kehalusan dan detail sulaman.





Perjalanan selanjutnya kembali ke Aceh
Di Aceh sendiri ada beberapa jenis kain tradisional, yang paling terkenal adalah Kain Songket dan Kerawang Gayo di Aceh Tengah dan sekitarnya. Aku selalu penasaran dengan kain ini yang biasanya digunakan oleh Orang Aceh yang bersuku Gayo ini. 

Kain ini sering jadi inceran para kolektor wastra. Kerawang Gayo sendiri adalah ragam hias kain bordiran yang menjadi ciri khas Masyarakat Gayo, terutama di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan merupakan kerajinan turun temurun. Untuk menuju Aceh Tengah, kurang lebih 8 Jam perjalanan dari Kota Banda Aceh.
Kerawang Gayo
Biasanya kain yang diberi sulaman Kerawang Gayo digunakan pada pakaian adat perkawinan, upacara adat dan kesenian.

Ciri khas Kerawang Gayo terletak pada bahan, warna dan motif. Motif dan warna yang dipakai sesuai kaidah-kaidah yang berlaku.


Untuk bahan dasar Kerawang Gayo, seperti pakaian masyarakat yang tinggal di pedalaman umumnya dipakai kain yang berwarna hitam atau yang berwarna gelap, karena warna gelap dianggap bisa memberikan kehangatan dan tidak tampak cepat kotor.


Untuk warna yang digunakan memiliki filosofi tersendiri, seperti Warna Kuning : diartikan dengan kebesaran dan keagungan yang dipakai oleh raja, Warna Merah : diartikan dengan keberanian, Warna Hijau : diartikan dengan kesuburan dan Warna Putih : diartikan dengan kesucian.
Motif Kerawang Gayo biasanya terinspirasi dari alam sekitar serta pengaruh alam yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, seperti Sara Kopat (orang yang dituakan) : berarti Raja, Imam, Petuah, dan Rakyat, apabila keempatnya berjalan dengan baik maka tercapailah kesempurnaan hidup, Peger (Pagar) : berarti sesuatu telah dijaga, apabila diluar pagar bukan kepunyaannya lagi, Emun Berangkat (Awan Beriring) : berarti seiya sekata, Duduk sama rendah tegak sama tinggi, Pucuk Rebung (Pucuk Bambu Muda) : anak muda yang akan menggantikan orang tuanya kelak maka harus diberikan pembinaan, Puter Tali (putar tali) : sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah bersama-sama, Mata Pune (Mata Burung Punai) : waspada terhadap sesuatu keadaan yang membahayakan, Subang Kertan (Anting-anting dari Bahan Tanaman) : keindahan yang harus dimiliki, meskipun tidak ada anting-anting yang sebenarnya namun dapat dimanfaatkan tumbuhan di sekitarnya, Tapak Seleman (daun tumbuhan tapak seleman) : hidup bergantung pada alam tumbuhan sekitarnya, Jejepas (Tepas) : gabungan dari motif pucuk rebung, sara kopat, puter tali yang berarti antara muda-mudi dan orang tua terjalin satu ikatan yang kuat seperti jalinan tepas, Rumet Muriti (Rapat Berbaris) : gabungan motif sara kopat dan peger diiringi oleh motif mata pune, yang berarti sama-sama berbaris rapat bergabung untuk menjaga keamanan antara Raja dan orang yang bertugas menjaga keamanan. 
Peci dan sabuk motif Kerawang Gayo

Untuk harga Kain Kerawang Gayo ini mulai Rp. 700.000, selain kain sekarang Motif Kerawang Gayo bisa didapat dalam bentuk Tas, Peci, Sajadah, gelang tangan dan masih banyak lagi, harga mulai Rp. 10.000 hingga Rp.300.000.

Bagaimana, menarik bukan? ini baru sebagian kain tradisional yang ada di sebagian Pulau Sumatera, ada masih banyak lagi kain-kain tradisional menarik yang ada tersebar di seluruh Indonesia, dan itu bisa jadi perjalanan menarik!

‘Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego’

Jadi, bagaimana kisah teman-teman?

Jumat, 24 Oktober 2014

Sherly Lantung, Pemudi Pelopor Pelindung Warisan Tradisi Bengkulu


Sherly Lantung adalah salah satu temanku yang sama-sama mengikuti Program Kapal Pemuda Nusantara dan Sail Morotai 2012. Penampilannya sederhana dan bersahaja. Tapi siapa yang sangka di balik penampilannya itu tersimpan potensi yang luar biasa. 2 bulan yang lalu aku berkesempatan main langsung ke tempat workshopnya, itu juga karena rasa penasaranku dengan Lantung. Ternyata nama Lantung di belakang Sherly bukan nama aslinya, sampai sekarang aku juga belum tahu siapa nama aslinya, maaf ya Yuk Sherly #Dipentung. Lantung itu muncul karena produk-produk kerajinan yang dikembangkan oleh Sherly berbahan Lantung dan karena inilah dia juga dianugerahkan gelar sebagai pemuda pelopor dari Kementrian Pemuda dan Olahraga. 
Sherly Lantung dan produk-produknya
Apakah Lantung itu?
Lantung sendiri berasal dari Pohon lantung yang bernama latin Artocarpus altilis adalah salah satu pohon endemik yang ada di hutan-hutan kawasan selatan Pulau Sumatera dan sejak dulu kala. Kulit lantung dikenal masyarakat Bengkulu sejak masa penjajahan Jepang tepatnya pada 1943 atau satu tahun Jepang menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Faktor kerasnya hidup, kerasnya tekanan penjajah menjadikan keadaan perekonomian menjadi berat sehingga menyulitkan masyarakat dalam mencari atau membeli pakaian atau katun. Oleh karena itu timbul ide untuk mencari pengganti kain sebagai pelindung tubuh, maka muncul ide pembuatan kain lantung sebagai alternatif. Artinya, kulit Lantung yang dijadikan pakaian pada masa penjajahan itu merupakan bagian dari perjalanan kelam sejarah bangsa Indonesia.

Masyarakat Bengkulu dalam membuat Kain Lantung menggunakan jenis pohon dengan kulit bergetah karena kulit kayu yang bergetah tidak mudah rusak. Umumnya kulit kayu yang digunakan untuk menghasilkan Lantung itu adalah Pohon Karet hutan, Pohon Ibuh dan Terap.

Pembuatan Lantung dimulai dari memotong Pohon Karet Hutan, Ibuh dan Terap untuk diambil kulitnya sesuai dengan ukuran yang diinginkan, selanjutnya kulit kayu tersebut dipukul-pukul dengan alat pemukul kayu. Pada saat dipukul-pukul kulit kayu yang telah terpisah dari kayu sambil dilipat hingga menjadi lembaran tipis. Lembaran tipis inilah yang dinamakan Lantung. Semakin tua usia pohon kayu yang diambil lantungnya maka akan semakin bagus kualitas lantung. Lantung yang berkualitas baik biasanya berwarna cokelat.

Ada bermacam-macam produk dihasilkan dari kulit Pohon Lantung, mulai dari hiasan dinding, pajangan, aksesori hingga tempat bisa dijadikan pakaian, menarik ya. 

Sherly mendirikan usaha kerajinan Kulit Lantung sudah cukup lama, lokasi galerynya tepat di sebelah rumahnya. Dari ide kreatif digabung dengan jiwa usaha maka jadilah kulit lantung sebagai bahan dasar bagi cenderamata andalan masyarakat Kota Bengkulu. Harga yang dijual cewek berkerudung ini beragam, tergantung jenis produknya, ukuran cenderamata yang dibuat mulai dari harga Rp 1.000 untuk gantungan kunci hingga ratusan ribu rupiah untuk barang jadi seperti pajangan dinding, miniatur Tabot, tas, dompet, jam dinding dan masih banyak lagi lainnya.

Kulit lantung yang ada di galeri Sherly pun terus bertambah dengan berbagai bentuk baru, yang penting terus berkarya dan berkreasi, selain itu Sherly juga mengajarkan anak-anak muda khususnya di Bengkulu untuk terus mencintai warisan nenek moyang mereka dengan mengolah Lantung menjadi produk yang bernilai ekonomi dan bisa terus jadi kebanggaan Masyarakat Bengkulu dan Indonesia. Sherly sendiri mengaku optimistis dengan usaha kerajinan Lantung-nya, dan terus mengembangkannya ke berbagai kreasi. Selain dijual di galerynya, produk-produk Sherly juga dijual di beberapa toko cenderamata yang ada di Kota Bengkulu. Berbagai produknya bisa dilihat di sini.

Sukses terus ya Sherly, tetap semangat jadi Inspirasi anak muda Indonesia.

Salam Kreatif!

Selasa, 14 Oktober 2014

Melihat Benteng Terkuat Inggris di Bengkulu

Benteng Marlborough (Fort Marlborough)
Salah satu obyek wisata sejarah yang wajib dikunjungi di Kota Bengkulu adalah Benteng Marlborough (Fort Marlborough. Benteng bukan hanya merupakan benteng pertahanan daerah kekuasaan Inggris di kawasan pantai barat Sumatera tapi juga tempat untuk mempertahankan Bengkulu sebagai daerah monopoli lada dan perdagangan. Benteng ini dibangun oleh East India Company (EIC) tahun 1713-1719 pada masa kepemimpinan Gubernur Joseph Callet. Benteng ini dianggap sebagai benteng terkuat kedua milik Inggris di wilayah timur setelah benteng St. George di Madras, India. Nama Marlborough sendiri diberikan oleh pemerintah Inggris kepada John Churchil yang bergelar Duke of Marlborough I sebagai tanda penghormatan.
Team penjelajah Bengkulu di Bagian depan Benteng Marlborough (Allan, Nita, Oki, Hijrah, Ulie dan Lesti)
 

Salah satu Meriam yang digunakan ketika jadi benteng pertahanan
Pada awalnya benteng digunakan sebagai pertahanan namun kemudian beralih fungsi sebagai tempat perdagangan komoditi lada sekaligus pusat pengawasan jalur Selat Malaka. Dilihat dari arsitektur bangunannya benteng ini lebih mirip seperti hunian di tengah kota daripada benteng atau pusat perdagangan. Menurut catatan British Library yang ada di benteng ini menjelaskan tentang proses pembaptisan, perkawinan, dan kematian dari para penghuninya. Terdapat sekitar 90 pegawai sipil dan militer yang tinggal di dalam benteng ini.

Informasi tentang Benteng Marlborough dan tempat-tempat bersejarah lainnya di Bengkulu
Saat ini, benteng masih berdiri kokoh di tanah seluas 44.100 m² dengan panjang 240,5 m dan lebar 170,5 m, menghadap ke arah selatan dan membelakangi Samudra Hindia. Bentuk arsitektur bangunan ini mirip kura-kura, terdapat jembatan yang menghubungkan bagian kepala dan badan, sebuah jembatan di atas parit yang membentuk ekor dan jembatan yang menghubungkan jalan masuk dengan bagian luar. Dahulu ketiga jembatan ini bisa diangkat dan diturunkan. Sampai saat ini batas dinding terluar masih nampak yaitu berupa parit-parit.

Bagian dalam Benteng dan bentuknya yang seperti Kura-kura
Di dalam bangunan ini terdapat ruang tahanan, gudang persenjataan, kantor, beberapa meriam, ruang perlindungan, terowongan sepanjang 6 m dan lebar 2 m. Sedangkan di bagian depan terdapat tiga makam yaitu makam Thomas Parr, Charles Muray dan satu makam tak dikenal. Terdapat juga prasasti nisan yang bertuliskan nama, tanggal dan tahun kematian tentara Inggris.




Biaya dan cara Menuju Benteng

Untuk masuk ke benteng ini kita hanya perlu membayar Rp. 5.000 saja. Benteng ini berada di Jalan Ahmad Yani, di pusat Kota Bengkulu, dari Bandar Udara Fatmawati Bengkulu, kita dapat menggunakan taksi atau mobil sewaan hingga sampai di tujuan sekitar 1,5 jam. Bila menggunakan bus atau angkutan umum dari terminal jurusan alun-alun kota Bengkulu kita bisa turun tepat di depan Benteng Marlborough.

Jumat, 10 Oktober 2014

Mencoba Bermain Dol, Alat Musik Unik dari Bengkulu

Selama perjalanan menyusuri Pantai Panjang Kota Bengkulu, sayup-sayup terdengar suara musik yang ritmis yang menghentak. Karena penasaran, aku meminta temanku Handri untuk berhenti sebentar untuk mencari asal suara tersebut. Mampirlah kami di sebuah sanggar musik yang ternyata sedang bermain Dol. 
Sanggar yang sedang berlatih bermain Dol
Apakah Dol Itu?
Dol yang merupakan alat musik perkusi khas Bengkulu itu hanya boleh ditabuh saat upacara Tabot. Dol sering dikatakan sebagai perkusi khas dari Bengkulu. Ternyata alat musik pukul ini disebut sebagai satu-satunya perkusi di dunia yang tidak berlubang di bagian dasarnya. Karena itu juga Dol menghasilkan bunyi khas berbeda dari perkusi atau pun beduk. 

Sekilas Dol berbentuk seperti beduk, setengah bulat lonjong dan diberikan cat warna-warni. Dol terbuat dari kayu atau bonggol kelapa yang terkenal ringan namun kuat atau kadang juga terbuat dari kayu pohon nangka. Bonggol Pohon Kelapa dilubangi dan bagian atasnya lalu ditutup kulit sapi atau kulit kambing. Diameter Dol terbesar bisa mencapai 70-125 cm dengan tinggi 80 cm. Selain itu ada juga Dol berukuran kecil yang terbuat dari tempurung kelapa.

Dimainkan dengan cara dipukul, ada 3 teknik dasar memainkan dol, yaitu: disebut suwena, tamatam, dan suwari. Jenis pukulan suwena biasanya untuk suasana berduka cita dengan tempo pukulan lambat; tamatam untuk suasana riang, konstan dan ritmenya cepat; sementara suwari adalah pukulan untuk perjalanan panjang dengan tempo pukulan satu-satu. Dalam pementasan dol, ada intsrumen lain yang ikut mengiringi, seperti tassa (sejenis rebana yang dipukul dengan rotan), dol berukuran kecil, serunai, dan lainnya.

Dulunya Dol hanya dimainkan saat perayaan Tabot, setiap 1-10 Muharram dalam rangka mengenang wafatnya Imam Hasan dan Imam Husen (cucu Nabi Muhammad saw.) dalam sebuah peperangan di Padang Karbala. Ritual ini selalu dilaksanakan setiap tahun karena dipercaya dapat menghindarkan berbagai kesulitan dan wabah penyakit. 

Penabuh Dol pun bukan sembarang orang melainkan keturunan Tabot, yaitu warga Bengkulu keturunan India yang biasa disebut Sipai. Dol memang dikenalkan kali pertama oleh masyarakat Muslim India yang datang ke Indonesia dibawa Pemerintah kolonial Inggris yang saat itu membangun Benteng Malborough. Mereka kemudian menikah dengan orang lokal Bengkulu dan garis keturunannya dikenal sebagai keluarga Tabot. Hingga tahun 1970-an, Dol hanya boleh dimainkan orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan keluarga Tabot tersebut. Tapi sekarang Dol bisa dimainkan siapa saja yang tertarik dan dikembangkan di sanggar secara berkelompok. (www.IndonesiaTravel.com)

Diajarin bermain Tasa oleh Imron
Selain Dol ternyata ada lagi alat yang namanya Tasa, mirip seperti Rebana atau Rapai di Aceh, cuma bermainnya pun dipukul dengan menggunakan tongkat atau stik kayu.
Mencoba permainan Dol
Keasyikan main, akhirnya mencoba satu lagu
Karena penasaran, akhirnya aku mencoba bermain Dol, ya yang pastinya meminta izin bergabung untuk mencoba. Untungnya aku mempunyai teman, Imron, teman program Sail Morotai yang juga seorang pemain Dol dan Pelatih, jadi dapat kesempatan bermain dan belajar Dol langsung, hore! Ternyata bermain Dol ini mengasyikan dan seru sekali, jadi tambah penasaran, seperti apa serunya Festival Tabotnya yang katanya bakal ada banyak penampilan permainan Dol dari semua sanggar yang ada di Bengkulu, wow!
Buat yang penasaran dan tertarik mencoba Dol, ayo melincah (jalan-jalan) ke Bengkulu.

Kamis, 09 Oktober 2014

Piyoh Sebentar di Rumah Pengasingan Presiden Soekarno Bengkulu



Mejeng dulu di depan Rumah Kediaman Bung Karno
Rumah pengasingan Presiden Indonesia yang ini memang cukup terkenal di kalangan masyarakat. Selain tempatnya berada tepat di tengah Kota Bengkulu dan mudah ditemukan, rumah ini dekat dengan Rumah Ibu Fatmawati. Kita bisa datang langsung untuk berkunjung di Jl Soekarno Hatta, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu. Di rumah inilah, Bung Karno diasingkan selama 4 tahun, dari tahun 1938 hingga 1942. Saat itu Bung Karno diasingkan oleh pemerintah Belanda, karena perjuangannya yang dianggap berbahaya. Di rumah inilah ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan bertemu dengan sang pujaan hati, Ibu Fatmawati.
Rumah Pengasingan Presiden Soekarno

Jika datang langsung, kita bisa melihat bangunan rumah utuh yang masih terawat. Pintu dan jendelanya pun rumah masih asli dengan aksen khas Tionghoa, karena sebelum Bung Karno, rumah ini ditempati oleh orang Tiongoa. Di dalam rumah, kita juga masih melihat beberapa koleksi buku Bung Karno yang masih tersimpan dengan baik, karena memang beliau suka sekali membaca.
Koleksinya lengkap termasuk sepeda ontel yang dipakai beliau

Ada satu koleksi yang unik dan menarik di rumah ini, yaitu surat-surat cintanya Presiden Soekarno kepada Ibu Fatmawati. Memang semenjak di Bengkulu, Bung Karno jatuh cinta kepada Fatmawati. Fatmawati pun jatuh cinta kepada Bung Karno yang penuh kewibawaan. Melalui rumah pengasingan inilah, Bung Karno mendapatkan istri yang cantik dan membantunya dalam mengusir penjajah.


Satu hal yang menjadi fenomena di rumah ini adalah air yang ada di sumur belakang rumah, yang katanya dipercaya membawa berkah. Katanya nggak jarang sejumlah petinggi lokal maupun pusat ke Bengkulu menyempatkan diri datang ke rumah ini untuk membasuh muka ataupun mencuci kaki dan tangan dari sumur itu. Bahkan, tidak sedikit yang membawa air dengan menggunakan botol. Ada yang mempercayai bahwa air sumur tersebut bisa membuka aura pemimpin, dan ada juga yang percaya jika air tersebut akan mempermudah segala sesuatu urusan, hehe ada-ada aja ya. Penasaran? ayo melincah (jalan-jalan) ke Bengkulu!