Buatku kain tradisional atau yang dikenal juga
dengan wastra Citra, selalu menjadi cerita menarik tersendiri. Setiap aku
melakukan perjalanan kemana pun di Indonesia selalu berusaha untuk mencari kain
yang khas di daerah tersebut. Sebut saja Batik di Jawa, kain Kerawang Gayo di
Aceh Tengah, Tenun di Kupang, Suji Cair di Koto Gadang, Kain Basurek di
Bengkulu, Tapis di Lampung dan masih banyak lagi lainnya.
Aku tertarik dengan kain tradisional Indonesia
pada mulanya karena warna dan detail gambarnya. Sebagai seorang yang bekerja di
dunia desain grafis, kain-kain tersebut menjadi inspirasi buatku untuk membuat
desain-desain. Selain itu ada perasaan senang jika mengenakan kain tradisional Indonesia, terutama seperti batik ataupun tenun, aku merasa seperti sedang memakai lukisan di badan, hehe.
Tapi ternyata tidak hanya itu, di dalam proses pembuatan kain tersebut juga mengandung cerita dari perjalanan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal itu yang membuatku semakin tertarik untuk mengoleksi kain-kain tradisional yang ada di seluruh Indonesia dan itu membuatku mendapatkan perjalanan yang tak terlupakan.
Tapi ternyata tidak hanya itu, di dalam proses pembuatan kain tersebut juga mengandung cerita dari perjalanan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal itu yang membuatku semakin tertarik untuk mengoleksi kain-kain tradisional yang ada di seluruh Indonesia dan itu membuatku mendapatkan perjalanan yang tak terlupakan.
Sempat suatu hari ketika selesai program Sail
Raja Ampat, aku memutuskan untuk menyusuri pantai barat pulau sumatera. Selain
tujuan bersilaturrahmi dengan teman-teman seangkatan ketika Program Sail
Morotai, aku juga mencuri kesempatan untuk mencari tahu kain tradisional yang
ada di daerah mereka, dan yang pasti untuk koleksi, hehe.
Perjalanan Pertama kumulai dari Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Aku suka dengan
Kota Bandar Lampung karena hampir di setiap sudut kotanya ada
motif-motif khas Lampung, ada Siger, Gajah, Kapal dan masih banyak lagi
motif lainnya, ini yang membuatku semakin penasaran ingin melihat
langsung proses pembuatan Kain Tapis dan Batik Lampung.
Ternyata menurut
sejarah, Lampung sudah
mengenal seni tekstil sejak abad ke-18. Ragam seni tekstil Lampung
ada banyak, antara lain Kain Tapis (kain tenun ikat), Bidak, Sebage,
Teppal, Selekap, Cindai, Peleppai (kain bermotif kapal), dan Nampan.
Namun
kebanyakan orang mengenal Lampung dari kain tapisnya. Kain Tapis
merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung
dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungan maupun Sang
Pencipta Alam Semesta. Kain tapis digunakan sebagai pakaian wanita suku
Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas
dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas
dengan sistem sulam. Kain ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke
bawah berbentuk sarung.
Aku dan beberapa
teman, Sujarwo, Qyoko dan Melyana berkesempatan melihat langsung ke
tempat produksi Kain Tenun dan Batik Lampung di Ruwai Juwai, di daerah
Bambu Kuning. Sekilas terlihat seperti rumah biasa, tapi ternyata
aktivitas di dalamnya, luar biasa, ada banyak karya kreatif di sana!
Tembok yang menarik seperti ini, ada banyak di Bandar Lampung! |
Proses Pemisahan Benang dengan Mesin |
Proses pemisahan benang secara konvensional |
Proses tenun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) |
Motif-motif Batik Lampung yang berkembang saat ini merupakan sebagian
diambil dari motif-motif pada kain tradisional Lampung yang telah
berkembang sebelumnya. Banyak motif batik Lampung dimodifikasi yang
bermunculan. Seperti motif Gamolan, Siger, Kupu-kupu, dan Gajah. Ini menunjukkan perkembangan budaya yang diaplikasikan ke
dalam motif batik yang diangkat dari akar budaya daerah masing-masing.
Perjalanan kedua, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu
Di Bengkulu aku kesulitan untuk mencari para pengrajin kain tradisionalnya, Kain Besurek, kain yang didalamnya terdapat surat, lucu ya. Ada lagi yang khas dari Bengkulu yaitu baju dari bahan Lantung.
Lantung
sendiri berasal dari Pohon lantung yang bernama latin Artocarpus altilis adalah
salah satu pohon endemik yang ada di hutan-hutan kawasan selatan Pulau Sumatera
dan sejak dulu kala. Kulit lantung dikenal masyarakat Bengkulu sejak masa
penjajahan Jepang tepatnya pada 1943 atau satu tahun Jepang menanamkan
kekuasaannya di Indonesia. Faktor kerasnya hidup, kerasnya tekanan penjajah
menjadikan keadaan perekonomian menjadi berat sehingga menyulitkan masyarakat
dalam mencari atau membeli pakaian atau katun. Oleh karena itu timbul ide untuk
mencari pengganti kain sebagai pelindung tubuh, maka muncul ide pembuatan kain
lantung sebagai alternatif. Artinya, kulit Lantung merupakan bagian dari perjalanan kelam sejarah bangsa
Indonesia.
Tetapi sekarang Masyarakat
Bengkulu membuat kain untuk pakaian hanya digunakan untuk acara-acara kesenian tertentu dan lebih banyak dijual untuk masyarakat di Papua Barat dan Papua, lucu ya.
Kabar gembiranya, salah satu temanku, Sherly di Bengkulu, adalah pengrajin Lantung, jadi aku bergegas ke tempatnya untuk melihat proses pembuatannya. Tapi sayang, Tuhan berkata lain, ketika aku sampai di rumahnya, Sherly baru saja kecelakaan beberapa hari sebelumnya, jadinya semua aktivitas produksi Lantung diberhentikan sementara, daaan..... seperti info sebelumnya, semua bahan yang digunakan untuk bahan pakaian, dijual ke Papua, hehe. Tapi tak mengapa, setidaknya aku jadi tahu Lantung.
Perjalananku selanjutnya ke Padang Panjang, Sumatera Barat
Menikmati keindahan alam Koto Gadang menjadi satu paket sendiri jika kita mengunjungi Padang Panjang dan Bukit
Tinggi, karena letaknya tidak terlalu berjauhan. Koto Gadang adalah
salah satu bagian dari Kabupaten Agam. Selain terkenal dengan pengrajin
peraknya dan juga dikenal dengan Suji Cair-nya.
Suji cair atau yang sering disebut juga Suji Caia adalah jenis sulaman selendang khas Sumatera Barat. Sulaman ini menggunakan warna benang berbeda atau menggunakan gradasi warna benang. Selendang Suji Cair ini biasanya menggunakan bahan sutra atau satin berukuran lebar 55 sentimeter sampai 60 sentimeter dan panjang 1,8 meter hingga 2 meter.
Suji cair atau yang sering disebut juga Suji Caia adalah jenis sulaman selendang khas Sumatera Barat. Sulaman ini menggunakan warna benang berbeda atau menggunakan gradasi warna benang. Selendang Suji Cair ini biasanya menggunakan bahan sutra atau satin berukuran lebar 55 sentimeter sampai 60 sentimeter dan panjang 1,8 meter hingga 2 meter.
Selendang Suji Cair |
Proses pembuatan Suji Cair yang ini hampir 1 tahun |
Saat
ini motif sulaman yang tengah dikembangkan adalah motif Bunga Dahlia. Bunga cantik
yang memiliki banyak warna ini sering dijumpai di Bukit Tinggi. Pada mulanya
bunga ini berasal dari Meksiko yang kemudian dibawa ke Eropa oleh bangsa
Portugis dan masuk ke Indonesia dibawa oleh Belanda. Sekarang dijadikan bunga
khas Bukit Tinggi dan menjadi inspirasi untuk sulaman Suji Cair.
Motif Bunga Dahlia |
Rumah Amai Setia |
Perjalanan selanjutnya kembali ke Aceh
Di Aceh sendiri ada beberapa jenis kain tradisional, yang paling terkenal adalah Kain Songket dan Kerawang Gayo di Aceh Tengah dan sekitarnya. Aku selalu penasaran dengan kain ini yang biasanya digunakan oleh Orang Aceh yang bersuku Gayo ini.
Kain ini sering jadi inceran para kolektor wastra. Kerawang Gayo sendiri adalah ragam hias kain bordiran yang menjadi ciri khas Masyarakat Gayo, terutama di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan merupakan kerajinan turun temurun. Untuk menuju Aceh Tengah, kurang lebih 8 Jam perjalanan dari Kota Banda Aceh.
Kain ini sering jadi inceran para kolektor wastra. Kerawang Gayo sendiri adalah ragam hias kain bordiran yang menjadi ciri khas Masyarakat Gayo, terutama di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan merupakan kerajinan turun temurun. Untuk menuju Aceh Tengah, kurang lebih 8 Jam perjalanan dari Kota Banda Aceh.
Kerawang Gayo |
Biasanya kain yang diberi
sulaman Kerawang Gayo digunakan pada pakaian adat perkawinan, upacara adat dan kesenian.
Ciri khas Kerawang Gayo terletak pada bahan, warna dan motif. Motif dan warna yang dipakai sesuai kaidah-kaidah yang berlaku.
Untuk bahan dasar Kerawang Gayo, seperti pakaian masyarakat yang tinggal di pedalaman umumnya dipakai kain yang berwarna
hitam atau yang berwarna gelap, karena warna gelap dianggap bisa memberikan kehangatan dan tidak tampak
cepat kotor.
Untuk warna yang digunakan memiliki filosofi tersendiri, seperti Warna Kuning : diartikan dengan kebesaran dan keagungan yang dipakai oleh raja, Warna Merah : diartikan dengan keberanian, Warna Hijau : diartikan dengan kesuburan dan Warna Putih : diartikan dengan kesucian.
Motif Kerawang Gayo biasanya terinspirasi dari alam sekitar serta
pengaruh alam yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, seperti Sara Kopat (orang yang dituakan) : berarti Raja, Imam,
Petuah, dan Rakyat, apabila keempatnya berjalan dengan baik maka
tercapailah kesempurnaan hidup, Peger (Pagar) : berarti sesuatu telah dijaga, apabila diluar pagar bukan kepunyaannya lagi, Emun Berangkat (Awan Beriring) : berarti seiya sekata, Duduk sama rendah tegak sama tinggi, Pucuk Rebung (Pucuk Bambu Muda) : anak muda yang akan menggantikan orang tuanya kelak maka harus diberikan pembinaan, Puter Tali (putar tali) : sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah bersama-sama, Mata Pune (Mata Burung Punai) : waspada terhadap sesuatu keadaan yang membahayakan, Subang Kertan (Anting-anting dari Bahan Tanaman) : keindahan
yang harus dimiliki, meskipun tidak ada anting-anting yang sebenarnya
namun dapat dimanfaatkan tumbuhan di sekitarnya, Tapak Seleman (daun tumbuhan tapak seleman) : hidup bergantung pada alam tumbuhan sekitarnya, Jejepas (Tepas) : gabungan dari motif pucuk rebung, sara
kopat, puter tali yang berarti antara muda-mudi dan orang tua terjalin
satu ikatan yang kuat seperti jalinan tepas, Rumet Muriti (Rapat Berbaris) : gabungan motif sara kopat
dan peger diiringi oleh motif mata pune, yang berarti sama-sama berbaris
rapat bergabung untuk menjaga keamanan antara Raja dan orang yang
bertugas menjaga keamanan.
Untuk harga Kain
Kerawang Gayo ini mulai Rp. 700.000, selain kain sekarang Motif Kerawang
Gayo bisa didapat dalam bentuk Tas, Peci, Sajadah, gelang tangan dan
masih banyak lagi, harga mulai Rp. 10.000 hingga Rp.300.000.
Bagaimana, menarik bukan? ini baru sebagian kain tradisional yang ada di sebagian Pulau Sumatera, ada masih banyak lagi kain-kain tradisional menarik yang ada tersebar di seluruh Indonesia, dan itu bisa jadi perjalanan menarik!
‘Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego’
Bagaimana, menarik bukan? ini baru sebagian kain tradisional yang ada di sebagian Pulau Sumatera, ada masih banyak lagi kain-kain tradisional menarik yang ada tersebar di seluruh Indonesia, dan itu bisa jadi perjalanan menarik!
‘Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego’
Jadi, bagaimana kisah teman-teman?
Wah seru juga ya kalau bisa liat proses produksi kain2 tradisionalnya...
BalasHapusPastinya, man kain Cual buat abang? Haha
HapusLengkap ya trip kainmu, Bang. Informasi yg beragam soal kain di Sumatera. :D
BalasHapusIya ni, tapi belum semua, masih penasaran dengan kain Cual Bangka, Batik Korga Di Batak, Songket Riau dan Palembang, yang lain lagi....aaah pengen jalan-jalan lagi 😅
Hapus