Kata mottainai (勿体無い) ini berasal dari gabungan kata mottai yang berarti “sesuatu yang penting” dan nai yang berarti “kekurangan”. Namun jika digabungkan, mottainai berarti sebuah kata yang digunakan untuk mengutarakan kerendahan diri dan juga rasa syukur karena menerima sesuatu yang menurut mereka tidak pantas menerimanya.
Kata
ini menunjukkan perasaan syukur yang dikombinasikan dengan rasa malu karena
menerima sesuatu atau bantuan dari atasan yang jauh lebih besar dari yang
seharusnya.
Sejarah mottainai
Sejarah mottainai muncul
di dalam kehidupan rakyat Jepang sejak Zaman Edo, pada Tahun 1603 – 1868. Di
zaman tersebut Edo adalah kota yang ramai seperti Tokyo sekarang. Saat itu
masyarakat Edo, adalah
masyarakat yang ramah lingkungan seperti konsumsi yang
mencolok dan konservasi sumber daya di mana barang-barang digunakan, digunakan
kembali, dan digunakan kembali dengan rasa terima kasih.
Jika
ada seseorang yang mempunyai kimono (pakaian khas jepang), ia
akan menggunakannya hingga 10 atau 20 tahun. Bila kimono itu sobek, ia akan
menambalnya terus. Saat sudah tidak dapat digunakan, kimono tersebut dijadikan
kain lap. Jika sudah tidak bisa dijadikan kain lap, maka akan dibuat bahan
bakar untuk memasak. Abu yang tersisa dari kimono tersebut tidak dibuang,
melainkan untuk membersihkan peralatan makan. Jadi semuanya bisa dimanfaatkan
dengan maksimal.
Masyarakat
Jepang juga percaya bahwa setiap benda memiliki roh. Dari kepercayaan itulah
muncul istilah dan kisah yōkai (hantu) dan Tsukumogami
(hantu peralatan rumah tangga). Pada saat satu benda menginjak umur seratus
tahun, benda itu akan berubah menjadi Tsukumogami.
Oleh
karena itu, rakyat Jepang pada Zaman Edo memegang teguh prinsip 4R.
- Reduce (mengurangi),
- Reuse (memakai ulang),
- Recycle (mendaur ulang),
- Respect (menghormati).
Masyarakat
Jepang yang tinggal di Prefektur Iwate membuat teknik Nanbu sakiori, yaitu
menjahit kain yang tidak terpakai menjadi pakaian baru atau menjadi kerajinan.
Sakiori
adalah kain tenunan yang dibuat dengan menggunakan kembali Furununo (kain lama)
yang telah dipotong menjadi potongan tali kecil yang kemudian ditenun.
Pada
zaman Edo, di Perfektur Aomori, jepang bagian utara, tidak dapat memproduksi
kapas karena cuaca yang dingin. Kapas sangat berharga, jadi, kimono tua didaur
ulang lagi dan lagi dan akhirnya disobek menjadi tali dan ditenun dan
direproduksi sebagai kain baru yang tebal dan hangat. Hasil dari tenunan ini
dijadikan kain tradisional Aomori.
Sakiori, kain tenunan yang dibuat dengan menggunakan Furununo (kain lama) |
Seorang
komikus Jepang, Shinju Mariko menciptakan cerita untuk mencoba
dan mengajari putranya sendiri tentang arti dari mottainai dan pentingnya
menjaga sesuatu. Konsepnya menarik perhatian sebuah perusahaan penerbitan, dan
akhirnya diterbitkan sebagai buku bergambar pada tahun 2004.
Karakter Mottainai
Baasan (Nenek Mottainai), diceritakan sangat membenci sesuatu yang mubazir,
sosok nenek ditampilkan sekilas tampak menakutkan tetapi sebenarnya baik dan
penuh cinta. membuat dia menjadi populer di kalangan anak-anak.
Orang
jepang meyakini ungkapan "sebutir nasi sejuta keringat". Biasanya
digunakan orang tua untuk mendidik anak - anak agar menghabiskan makanan. Bukan
dengan memaksa dan menakut-nakuti, tetapi orang tua di Jepang mengajarkan agar
anak-anak menyadari betul nasi yang ada di atas piring makan mereka merupakan
usaha keras dari banyak orang.
Mariko
Shinju menjabarkan konsep itu dalam seri Nenek Mottainai, melalui buku
bergambar dan melalui karakter seorang nenek yang bijak.
Konsep Mottainai mengajarkan kita untuk berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap semua sumber daya dan menggunakan sumber daya yang terbatas seefektif mungkin.
“The
wasted opportunity of objects that have yet to reach their full potential.”
- Membuang sepasang sandal
geta yang sangat bagus karena talinya putus? Mottainai!
- Membuang kimono karena anak
Anda sudah besar? Mottainai!
- Menyembunyikan cangkir teh
favorit Anda karena ada beberapa retakan? Mottainai!
Melalui
rasa menghormati ini, anak-anak diajak untuk menghargai peran dari sebuah
barang dan berpikir ulang untuk membuang atau menyia-nyiakan fungsinya. Sebagai
contoh, di Jepang, kita akan menemukan Senbei (kudapan yang terbuat dari beras)
yang dibungkus menggunakan kertas tradisional yang disebut washi. Washi ini
dapat digunakan kembali sebagai bungkus hadiah, sampul buku dan masih banyak
produk kreatif lainnya, jadi barang tersebut bisa digunakan secara efektif.
Orang
Jepang selalu mengatakan 'otsukaresama-deshita!' kepada setiap barang – barang
yang mereka gunakan sebagai menunjukkan 'terima kasih atas kerja kerasnya'.
Indah ya?