|
Hijrah Saputra |
Di Aceh, kedai kopi adalah satu dari tiga ruang publik yang banyak dijumpai dan ramai bertebaran di pinggir jalan selain masjid dan kedai makan/restoran. Kedai kopi tak sekadar tempat untuk menikmati secangkir dua cangkir kopi lalu usai. Ia pula tempat tempat ide-ide yang berseliweran dipertemukan, tempat mengolah rasa dan tempat bersua. Tempat sebuah interaksi menemukan jodoh, melahirkan inspirasi dan aspirasi.
Karenanya, satu malam tatkala lidah hanya ingin menyesap rasa khas Nanggroe; bersama kawan, kami berhenti di kedai kopi legendaris Aceh, Kedai Kopi Solong, Ulee Kareng. Duduk pada sebuah meja dengan kesibukan masing-masing. Di depan saya, dua orang kawan tenggelam dalam kekusyukan menikmati makan malam yang telat. Masing-masing menghadapi sepiring nasi ditemani semangkok soto daging yang tuntas dalam sekejap. Rasa lapar saya sudah meluap, saya hanya memesan secangkir sanger (sange) dingin; semacam kopi susu yang hanya dijumpai di kedai kopi Aceh.
Saat sedang asik menyesap sanger, seorang lelaki berkemeja putih melangkah ke dalam kedai. Dia, lelaki yang selama ini sangat ingin saya jumpai. Muda, bergairah, senyumnya selalu penuh semangat, dan sorot matanya menyimpan berjuta harapan. Lelaki yang dua bulan lalu, hanya bisa saya sapa suaranya lewat jaringan telepon setelah dengan penuh percaya diri saya meminta nomor telepon dirinya ke penjaga gerai di samping kedai kopi tempat saya duduk saat ini menikmati sanger dingin. Waktu itu, saya mengaku sebagai sahabat baiknya. Ya, sahabat baik yang tak menyimpan nomor telepon sahabatnya sendiri.
Saya tak kan pernah lupa kala pertama kali bersua dengannya, kurang lebih empat tahun yang lalu. Malam-malam, dengan dua bus saya dan rombongan mendatangi gerai yang dikelolanya. Sekarang, lelaki itu ada di depan mata! Usianya baru saja menggelindingkan angka nol di belakang angka 30, tapi apa yang dilakukannya untuk Nanggroe membuat kekaguman dalam hati tak usai hanya melihat pencapaiannya. Jantung saya berdebar keras, bukan karena sanger tapi kesempatan yang sudah lama dinanti. Oohhh maaaaak! lambaian tangan, langkahnya yang mendekat dan tentu senyum yang bersemangat itu.
Gregetan melihat potensi wisata daerah yang pengelolaan dan promosinya kurang mendapat perhatian, menguatkan langkahnya untuk pulang ke Sabang selepas kuliah di Malang. Dilihatnya, banyak pemuda yang hanya fokus membicarakan masalah tanpa pernah berusaha untuk mencari solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Jika dibiarkan, akan semakin kacau. Baginya, masalah adalah sebuah peluan usaha yang bagus. Keputusannya bulat, dia memilih jalan yang berbeda. Dirinya seorang sarjana teknik. Planolog yang tergoda dengan dunia pariwisata dengan talenta besar pada desain grafis dan marketing membawa langkahnya membuka usaha Piyoh Desain pada 2009 di Sabang. Konsep gerai yang menjual ragam pernak-pernik promo wisata Aceh hasil karya sendiri ini ini, telah direncanakannya di bangku kuliah. Di tahun ketiga, dirinya membuka cabang di UK dan dalam waktu 6 (enam) tahun Piyoh Desain telah memiliki 3 (tiga) gerai: Sabang, Ulee Kareng dan Peunayong. Buka mata, melihat peluang, lalu berusaha menyelesaikan masalah yang ada dengan bekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki; dia MELANGKAH.
Setelah usahanya berkembang, dirinya tak lantas diam. Dia masih punya mimpi yang ingin dikepakkan, dia ingin anak muda yang lain dapat meraih impian dan maju bersamanya. Akhir tahun 2012, bersama 10 (sepuluh) orang generasi muda Aceh yang dianggap aneh, memiliki visi yang sama serta berpotensi berkumpul dan membuat satu organisasi menyatukan semangat dan kekuatan dengan satu misi membawa perubahan positif di Aceh terutama di kalangan generasi muda, The Leader. Mereka ingin menunjukkan bahwa generasi muda Aceh bisa bangkit setelah konflik dan tsunami lewat kegiatan Dreammaker Camp, Dreammaker Institute, Kelas Kreatif, Liburan Produktif, Sobat Buku, Ngobrol Inspiratif dan Aceh Luar Biasa. Tahun pertama, The Leader mendapat penghargaan sebagai juara I MDGs Awards (IMA) 2013 untuk bidang pendidikan. Dirinya terus BERGERAK.
Cukupkah baginya? Ternyata masih ada lagi mimpinya yang terus dikepakkan. Saya kembali teringat masa berbincang lewat jaringan telepon dengannya dua bulan lalu. Saat itu dirinya di Lhokseumawe dan saya di UK, sebutan keren untuk Ulee Kareng. Ngapain turun ke gampong-gampong? Jawabannya membuat rasa kagum di hati semakin kembang kempis. Aceh memiliki banyak potensi besar untuk dikembangkan, hanya saja tertutup oleh kebiasan-kebiasaan buruk; satu di antaranya adalah krisis kepercayaan diri dan kepekaan yang hilang. Masalah bukanlah kendala untuk maju bersama, tak akan ada masalah berat di Aceh yang tak dapat diselesaikan jika kita bisa bergandengan tangan, satukan semangat untuk membuat Aceh lebih ASYIK. Untuk itu program lain seperti Gam Inong Blogger, Sedekah Sendal, Sabang Berkebun, I Love Songket Aceh, Colourful Kota Naga, Gampong Tanyoe, dan Tangkulok Project pun diluncurkannya bersama generasi muda Aceh. Dirinya seorang MOTIVATOR.
Jelang ramadhan yang lalu, saya melihat gambar sandal dengan tulisan SS tak henti bertebaran di media sosialnya. Usut punya usut SS bukanlah sebuah organisasi jaman dulu yang terkenal itu tapi ide sederhana yang digagasnya bersama Rumah Kreatif Sabang menyumbangkan sandal jepit ke meunasah atau masjid untuk dikenakan umat saat berwuduh lewat gerakan #SedekahSandal. Dia, anak muda yang tahu BERSYUKUR, berkarya dengan cara sederhana.
Kegiatannya tak hanya itu. Dirinya memiliki energi luar biasa yang menggerakkannya untuk terus melangkah. Untuk segala usaha dan kerja kerasnya, sederet prestasi pernah diraihnya. Dirinya terpilih sebagai satu dari 32 dua pemuda Indonesia yang masuk dalam Youth Booklet The United Nations Population Funds (UNFPA) 2015 yang memiliki potensi membuat perubahan di Indonesia, penerima anugerah Marketers of the Year 2015 untuk sektor Ekonomi Kreatif yang diselenggarakan MarkPlus, Inc, juara 1 Wirausaha Muda Mandiri 2013 bidang Kreatif, Juara 1 Marketeers Techno Startup Icon 2014, Delegai Propinsi Aceh di Kapal Pemuda Nusantara 2012 dan Sail Morotai, Delegasi Indonesia ke Youth Engagement Summit 2009 di Kuala Lumpur, Juara I, Agam Duta Wisata Provinsi NAD 2008, Juara Harapan I Raka Jawa Timur 2007, Juara I Kakang Malang 2006. Di Lomba Branding Image Kota Malang 2006, dirinya keluar sebagai Juara I, dengan konsep “Malang Welcoming City”, maskot: Tukoma (Tugu Kota Malang) dan motto : smiley, friendly and memory. Dirinya mendulang segudang PRESTASI. Usai mengikuti program Wirausaha Muda Mandiri (WMM), dia tak bisa tinggal diam. Bersama beberapa rekan pengusaha muda Aceh, dirinya membangun komunitas WMM Chapter Aceh. Di komunitas ini mereka saling membantu satu sama lain dan mengompori anak muda lainnya untuk turut berkarya dan menjadi pengusaha muda.
"Hai Cut Kak," sapa lelaki yang kini berdiri di depan saya. Tanpa berkabar dan tak menebar janji, kedai kopi mempertemukan kami. Senang bersua dirinya yang kini mendapat kepercayaan menjadi staf ahli Pejuang Pendidikan dari Aceh, Muslim, SHI, MM; anggota DPR RI Komisi X. Ia menjalankan tugasnya untuk menjembatani generasi muda Aceh yang memiliki semangat positif bersama pemerintah berkembang di bidang Pendidikan, Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Kepemudaan dan Olahraga. Dia, Hijrah Saputra, aneuk muda inspiratif dari Sabang, Nanggroe, pembelajar yang tak pernah berhenti menebar semangat untuk maju pada generasinya. Sosok yang telah mengurai kerinduan pada sebuah pertemuan yang melahirkan perbincangan seru saat malam semakin pekat menyelimuti Nanggroe. Bereeeh, sukses untukmu Heiji, saleum [oli3ve].
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/oli3ve/hijrah-saputra-pembelajar-dan-pengusaha-muda-dari-aceh_56a16ed32f93731805839516