Jumat, 09 Oktober 2015

Ini Dia Kain-kain Tradisional Yang Wajib Dicari di Sumatera


Buatku kain tradisional atau yang dikenal juga dengan wastra Citra, selalu menjadi cerita menarik tersendiri. Setiap aku melakukan perjalanan kemana pun di Indonesia selalu berusaha untuk mencari kain yang khas di daerah tersebut. Sebut saja Batik di Jawa, kain Kerawang Gayo di Aceh Tengah, Tenun di Kupang, Suji Cair di Koto Gadang, Kain Basurek di Bengkulu, Tapis di Lampung dan masih banyak lagi lainnya.

Aku tertarik dengan kain tradisional Indonesia pada mulanya karena warna dan detail gambarnya. Sebagai seorang yang bekerja di dunia desain grafis, kain-kain tersebut menjadi inspirasi buatku untuk membuat desain-desain. Selain itu ada perasaan senang jika mengenakan kain tradisional Indonesia, terutama seperti batik ataupun tenun, aku merasa seperti sedang memakai lukisan di badan, hehe.

Tapi ternyata tidak hanya itu, di dalam proses pembuatan kain tersebut juga mengandung cerita dari perjalanan masyarakat Indonesia itu sendiri. Hal itu yang membuatku semakin tertarik untuk mengoleksi kain-kain tradisional yang ada di seluruh Indonesia dan itu membuatku mendapatkan perjalanan yang tak terlupakan.

Sempat suatu hari ketika selesai program Sail Raja Ampat, aku memutuskan untuk menyusuri pantai barat pulau sumatera. Selain tujuan bersilaturrahmi dengan teman-teman seangkatan ketika Program Sail Morotai, aku juga mencuri kesempatan untuk mencari tahu kain tradisional yang ada di daerah mereka, dan yang pasti untuk koleksi, hehe.

Perjalanan Pertama kumulai dari Bandar Lampung, Provinsi Lampung.
Aku suka dengan Kota Bandar Lampung karena hampir di setiap sudut kotanya ada motif-motif khas Lampung, ada Siger, Gajah, Kapal dan masih banyak lagi motif lainnya, ini yang membuatku semakin penasaran ingin melihat langsung proses pembuatan Kain Tapis dan Batik Lampung.
Tembok yang menarik seperti ini, ada banyak di Bandar Lampung!
Ternyata menurut sejarah, Lampung sudah mengenal seni tekstil sejak abad ke-18. Ragam seni tekstil Lampung ada banyak, antara lain Kain Tapis (kain tenun ikat), Bidak, Sebage, Teppal, Selekap, Cindai, Peleppai (kain bermotif kapal), dan Nampan. Namun kebanyakan orang mengenal Lampung dari kain tapisnya. Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungan maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Kain tapis digunakan sebagai pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistem sulam. Kain ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung. Aku dan beberapa teman, Sujarwo, Qyoko dan Melyana berkesempatan melihat langsung ke tempat produksi Kain Tenun dan Batik Lampung di Ruwai Juwai, di daerah Bambu Kuning. Sekilas terlihat seperti rumah biasa, tapi ternyata aktivitas di dalamnya, luar biasa, ada banyak karya kreatif di sana!
Proses Pemisahan Benang dengan Mesin
Proses pemisahan benang secara konvensional
Proses tenun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin)
Motif-motif Batik Lampung yang berkembang saat ini merupakan sebagian diambil dari motif-motif pada kain tradisional Lampung yang telah berkembang sebelumnya. Banyak motif batik Lampung dimodifikasi yang bermunculan. Seperti motif Gamolan, Siger, Kupu-kupu, dan Gajah. Ini menunjukkan perkembangan budaya yang diaplikasikan ke dalam motif batik yang diangkat dari akar budaya daerah masing-masing.
Perjalanan kedua, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu
Di Bengkulu aku kesulitan untuk mencari para pengrajin kain tradisionalnya, Kain Besurek, kain yang didalamnya terdapat surat, lucu ya. Ada lagi yang khas dari Bengkulu yaitu baju dari bahan Lantung.
Lantung sendiri berasal dari Pohon lantung yang bernama latin Artocarpus altilis adalah salah satu pohon endemik yang ada di hutan-hutan kawasan selatan Pulau Sumatera dan sejak dulu kala. Kulit lantung dikenal masyarakat Bengkulu sejak masa penjajahan Jepang tepatnya pada 1943 atau satu tahun Jepang menanamkan kekuasaannya di Indonesia. Faktor kerasnya hidup, kerasnya tekanan penjajah menjadikan keadaan perekonomian menjadi berat sehingga menyulitkan masyarakat dalam mencari atau membeli pakaian atau katun. Oleh karena itu timbul ide untuk mencari pengganti kain sebagai pelindung tubuh, maka muncul ide pembuatan kain lantung sebagai alternatif. Artinya, kulit Lantung merupakan bagian dari perjalanan kelam sejarah bangsa Indonesia.
 
Tetapi sekarang Masyarakat Bengkulu membuat kain untuk pakaian hanya digunakan untuk acara-acara kesenian tertentu dan lebih banyak dijual untuk masyarakat di Papua Barat dan Papua, lucu ya.

Kabar gembiranya, salah satu temanku, Sherly di Bengkulu, adalah pengrajin Lantung, jadi aku bergegas ke tempatnya untuk melihat proses pembuatannya. Tapi sayang, Tuhan berkata lain, ketika aku sampai di rumahnya, Sherly baru saja kecelakaan beberapa hari sebelumnya, jadinya semua aktivitas produksi Lantung diberhentikan sementara, daaan..... seperti info sebelumnya, semua bahan yang digunakan untuk bahan pakaian, dijual ke Papua, hehe. Tapi tak mengapa, setidaknya aku jadi tahu Lantung.
Sherly dan produk-produknya terbuat dari Lantung
Baju dari Lantung, Raja Ampat Expo
Bisa jadi baju adat Papua yang terbuat dari kulit kayu ini berasal dari masyarakat di Bengkulu, bisa jadi, hehe.

Perjalananku selanjutnya ke Padang Panjang, Sumatera Barat
Menikmati keindahan alam Koto Gadang menjadi satu paket sendiri jika kita mengunjungi Padang Panjang dan Bukit Tinggi, karena letaknya tidak terlalu berjauhan. Koto Gadang adalah salah satu bagian dari Kabupaten Agam. Selain terkenal dengan pengrajin peraknya dan juga dikenal dengan Suji Cair-nya.

Suji cair atau yang sering disebut juga Suji Caia adalah jenis sulaman selendang khas Sumatera Barat. Sulaman ini menggunakan warna benang berbeda atau menggunakan gradasi warna benang. Selendang Suji Cair ini biasanya menggunakan bahan sutra atau satin berukuran lebar 55 sentimeter sampai 60 sentimeter dan panjang 1,8 meter hingga 2 meter.
Selendang Suji Cair
Proses pembuatan Suji Cair yang ini hampir 1 tahun
Sulaman selendang ini bisa menjadi koleksi kerajinan yang layak dimiliki para kolektor Wastucitra, karena Suji Cair memiliki desain dengan motif halus. Motif bunga dan daun suji dibuat dengan benang sutra atau satin, dengan lima sampai enam tingkatan warna. Benang disulamkan bergantian, hingga terjadi percampuran warna benang yang membentuk bayangan tiga dimensi. Perpaduan warna satu benang yang mencair di atas warna benang lain ini yang membuatnya disebut suji cair. Suji Cair juga mengandung falsafah kehidupan alam takambang jadi guru, alam dan lingkungan menjadi sumber adat istiadat yang harus dilestarikan. Satu lagi keunggulan sulam Koto Gadang ini banyak dipengaruhi oleh sulaman Cina.

Saat ini motif sulaman yang tengah dikembangkan adalah motif Bunga Dahlia. Bunga cantik yang memiliki banyak warna ini sering dijumpai di Bukit Tinggi. Pada mulanya bunga ini berasal dari Meksiko yang kemudian dibawa ke Eropa oleh bangsa Portugis dan masuk ke Indonesia dibawa oleh Belanda. Sekarang dijadikan bunga khas Bukit Tinggi dan menjadi inspirasi untuk sulaman Suji Cair.
Motif Bunga Dahlia
Rumah Amai Setia
Pengerjaannya Suji Cair juga harus rapi dan halus untuk mendapatkan sulaman indah, jadi tidak heran jika, waktu pengerjaannya mencapai tiga bulan hingga lebih untuk satu buah selendang. Harga untuk sebuah selendang cantik Suji Cair mulai dari Rp.500.000 hingga Rp.5.000.000, tergantung dari tingkat kehalusan dan detail sulaman.





Perjalanan selanjutnya kembali ke Aceh
Di Aceh sendiri ada beberapa jenis kain tradisional, yang paling terkenal adalah Kain Songket dan Kerawang Gayo di Aceh Tengah dan sekitarnya. Aku selalu penasaran dengan kain ini yang biasanya digunakan oleh Orang Aceh yang bersuku Gayo ini. 

Kain ini sering jadi inceran para kolektor wastra. Kerawang Gayo sendiri adalah ragam hias kain bordiran yang menjadi ciri khas Masyarakat Gayo, terutama di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah dan merupakan kerajinan turun temurun. Untuk menuju Aceh Tengah, kurang lebih 8 Jam perjalanan dari Kota Banda Aceh.
Kerawang Gayo
Biasanya kain yang diberi sulaman Kerawang Gayo digunakan pada pakaian adat perkawinan, upacara adat dan kesenian.

Ciri khas Kerawang Gayo terletak pada bahan, warna dan motif. Motif dan warna yang dipakai sesuai kaidah-kaidah yang berlaku.


Untuk bahan dasar Kerawang Gayo, seperti pakaian masyarakat yang tinggal di pedalaman umumnya dipakai kain yang berwarna hitam atau yang berwarna gelap, karena warna gelap dianggap bisa memberikan kehangatan dan tidak tampak cepat kotor.


Untuk warna yang digunakan memiliki filosofi tersendiri, seperti Warna Kuning : diartikan dengan kebesaran dan keagungan yang dipakai oleh raja, Warna Merah : diartikan dengan keberanian, Warna Hijau : diartikan dengan kesuburan dan Warna Putih : diartikan dengan kesucian.
Motif Kerawang Gayo biasanya terinspirasi dari alam sekitar serta pengaruh alam yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, seperti Sara Kopat (orang yang dituakan) : berarti Raja, Imam, Petuah, dan Rakyat, apabila keempatnya berjalan dengan baik maka tercapailah kesempurnaan hidup, Peger (Pagar) : berarti sesuatu telah dijaga, apabila diluar pagar bukan kepunyaannya lagi, Emun Berangkat (Awan Beriring) : berarti seiya sekata, Duduk sama rendah tegak sama tinggi, Pucuk Rebung (Pucuk Bambu Muda) : anak muda yang akan menggantikan orang tuanya kelak maka harus diberikan pembinaan, Puter Tali (putar tali) : sebuah ikatan kekeluargaan dan kebersamaan dalam menyelesaikan masalah bersama-sama, Mata Pune (Mata Burung Punai) : waspada terhadap sesuatu keadaan yang membahayakan, Subang Kertan (Anting-anting dari Bahan Tanaman) : keindahan yang harus dimiliki, meskipun tidak ada anting-anting yang sebenarnya namun dapat dimanfaatkan tumbuhan di sekitarnya, Tapak Seleman (daun tumbuhan tapak seleman) : hidup bergantung pada alam tumbuhan sekitarnya, Jejepas (Tepas) : gabungan dari motif pucuk rebung, sara kopat, puter tali yang berarti antara muda-mudi dan orang tua terjalin satu ikatan yang kuat seperti jalinan tepas, Rumet Muriti (Rapat Berbaris) : gabungan motif sara kopat dan peger diiringi oleh motif mata pune, yang berarti sama-sama berbaris rapat bergabung untuk menjaga keamanan antara Raja dan orang yang bertugas menjaga keamanan. 
Peci dan sabuk motif Kerawang Gayo

Untuk harga Kain Kerawang Gayo ini mulai Rp. 700.000, selain kain sekarang Motif Kerawang Gayo bisa didapat dalam bentuk Tas, Peci, Sajadah, gelang tangan dan masih banyak lagi, harga mulai Rp. 10.000 hingga Rp.300.000.

Bagaimana, menarik bukan? ini baru sebagian kain tradisional yang ada di sebagian Pulau Sumatera, ada masih banyak lagi kain-kain tradisional menarik yang ada tersebar di seluruh Indonesia, dan itu bisa jadi perjalanan menarik!

‘Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego’

Jadi, bagaimana kisah teman-teman?

4 komentar:

  1. Wah seru juga ya kalau bisa liat proses produksi kain2 tradisionalnya...

    BalasHapus
  2. Lengkap ya trip kainmu, Bang. Informasi yg beragam soal kain di Sumatera. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ni, tapi belum semua, masih penasaran dengan kain Cual Bangka, Batik Korga Di Batak, Songket Riau dan Palembang, yang lain lagi....aaah pengen jalan-jalan lagi 😅

      Hapus