Laman

Minggu, 28 September 2014

Wah, ternyata Bireuen Pernah Jadi Ibukota RI Ketiga

Kaget? iya sama, jujur sebagai anak muda yang lumayan gaul ternyata aku tidak pernah tahu ternyata Kabupaten Bireuen pernah dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia Ketiga, akhirnya aku memutuskan untuk mencari tahu dan ternyata ada banyak fakta menarik terungkap dari kabupaten yang juga terkenal dengan kulinernya, seperti Sate Matang, Emping Melinjo dan juga Keripik Pisangnya.
 
Posisi Kabupaten Bireuen
Kabupaten Bireuen adalah salah satu kabupaten di Aceh. Kabupaten ini baru menjadi wilayah otonom sejak tanggal 12 Oktober 2000 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten ini terkenal dengan julukan kota juang, namun sempat menjadi salah satu basis utama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Semenjak diberlakukannya darurat militer sejak bulan Mei 2003, situasi di kabupaten ini berangsur-angsur mulai kembali normal.

Kabupaten yang saat ini dipimpin oleh H.Ruslan-Mukhtar Abda (Harus Muda) sangat strategis karena berada di lintasan yang menghubungan Aceh dan Sumatera Utara. Berasal dari Bahasa Arab, birrun, yang artinya kebajikan, banyak sekali kita jumpai bangunan bernuansa islami, dan dayah baik yang tradisional maupun modern yang santrinya berasal dari seluruh Aceh dan juga luar Aceh sehingga sering disebut sebagai Kabupaten 1001 Dayah.

Bireuen Sebagai Ibukota RI Ketiga
Kabupaten yang berada di pesisir bagian timur Provinsi Aceh ini memiliki sejarah yang penting untuk kemerdekaan Republik Indonesia, Tahun 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya terhadap Yogyakarta. Dalam waktu sekejap Ibukota RI kedua itu jatuh dan dikuasai Belanda. Saat itu, Presiden Pertama Indonesia, Soekarno atau yang dikenal dengan panggilan Bung Karnoe, sedang mengendalikan pemerintahan terpaksa harus memilih jalan untuk menyelamatkan bangsa. Tidak ada pilihan, Presiden Soekarno mengasingkan diri ke tempat yang menurut beliau aman, yaitu Bireuen. Soekarno mengasingkan diri ke Bireuen dengan menggunakan pesawat udara Dakota. Pesawat yang dibawa oleh putra Aceh, Teuku Iskandar, dan mendarat di lapangan terbang sipil Cot Gapu pada Juni 1948.
Kunjungan Presiden Pertama RI, Sumber gambar di sini
Kedatangan rombongan Presiden Pertama Indonesia itu disambut Gubernur Militer Aceh saat itu, Teungku Daud Beureueh, Panglima Divisi X, Kolonel Hussein Joesoef, para perwira militer Divisi X, alim ulama dan para tokoh masyarakat. Tidak ketinggalan anak-anak Sekolah Rakyat (SR) juga ikut menyambut kedatangan presiden sekaligus PanglimaTertinggi Militer itu.

Pada malam harinya di lapangan terbang Cot Gapu diselenggarakan Rapat Akbar (Leising). Presiden Soekarno dengan ciri khasnya, berpidato berapi-api, membakar semangat juang rakyat Aceh di Keresidenan Bireuen yang membludak lapangan terbang Cot Gapu. Masyarakat Bireuen sangat bangga dan berbahagia sekali dapat bertemu dan mendengar langsung pidato presiden Soekarno tentang agresi Belanda 1947-1948 yang telah menguasai kembali Sumatera Timur (Sumatera Utara) sekarang.

Bung Karno hanya berada seminggu di Bireuen dan seluruh aktivitas Republik Indonesia waktu itu dipusatkan di jantung Kota Bireuen. Pada waktu itu Bung Karno menginap dan mengendalikan pusat pemerintahan RI di kediaman Kolonel Hussein Joesoef, Panglima Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan tanah Karo, di Kantor Divisi X, yang sekarang digunakan sebagai Pendopo Bupati Bireuen atau yang sering dikenal dengan Meuligoe, dan selama seminggu itulah Bireuen ditetapkan menjadi Ibukota RI menggantikan Yogyakarta.
Meuligoe Bireuen dulu dan sekarang, sumber di sini
Bireuen Sebagai Kota Juang
Daerah pecahan Aceh Utara ini juga dikenal sebagai Kota Juang. Beragam kisah heroik terekam dalam catatan sejarah. Benteng pertahanan di Batee Iliek merupakan daerah terakhir yang diserang Belanda yang menyisakan kisah kepahlawanan pejuang Aceh dalam menghadapi Belanda.

Saat itu Bireuen dijadikan sebagai pusat, aktivitas perjuangan dalam menghadapi serangan-serangan musuh dan juga berfungsi sebagai pusat kemiliteran Aceh. Semenjak itulah hingga sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai “Kota Juang”.

Dipilihnya Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh, dikarenakan letaknya yang sangat strategis  dalam mengatur strategi militer untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area yang telah menguasai Sumatera Timur. Pasukan tempur Divisi X Komandemen Sumatera yang bermarkas di Juli Keudee Dua, Bireuen, itu silih berganti dikirim ke Medan Area. Termasuk diantaranya pasukan tank dibawah pimpinan Letnan Yusuf Ahmad, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Letnan Yusuf Tank. 

Pada waktu itu pasukan Divisi X mempunyai puluhan unit mobil tank, peralatan perang itu merupakan hasil rampasan tank tentara Jepang yang bermarkas di Juli Keude Dua. Dengan tank-tank itulah pasukan Divisi X mempertahankan Republik ini di Medan Area pada masa agresi Belanda pertama dan kedua tahun 1947-1948. Juli Keude Dua juga memiliki nilai historis kemiliteran penting dalam mempertahakan Republik. Terutama pada zaman Revolusi 1945. Pendidikan Perwira Militer (Vandrecht), yakni untuk mendidik perwira-perwira yang tangguh dipusatkan di Juli Keude Dua.
 
Kisah heroik lainnya, ada di kubu syahid lapan di Kecamatan Simpang Mamplam. Tidak sedikit orang yang melintasi Banda Aceh - Medan menyinggahi tempat ini untuk ziarah. Di kuburan itu, delapan syuhada dikuburkan. Mereka Syahid pada tahun 1902 saat melawan pasukan Marsose, Belanda. Kala itu delapan syuhada tersebut berhasil menewaskan pasukan Marsose yang berjumlah 24 orang. Namun, ketika mereka mengumpulkan senjata dari tentara Belanda yang tewas itu, mereka diserang oleh pasukan Belanda lainnya yang datang dari arah Jeunieb. Kedelapan pejuang itu pun syahid. Mereka adalah : Tgk Panglima Prang Rayeuk Djurong Bindje, Tgk Muda Lem Mamplam, Tgk Nyak Bale Ishak Blang Mane, Tgk Meureudu Tambue, Tgk Balee Tambue, Apa Sjech Lantjok Mamplam, Muhammad Sabi Blang Mane, serta Nyak Ben Matang Salem Blang Teumeuleuk. Makam delapan syuhada ini terletak di pinggir jalan Medan – Banda Aceh, kawasan Tambue, Kecamatan Simpang Mamplam. Makam itu dikenal sebagai kubu syuhada lapan.

Cikal Bakal Radio Republik Indonesia dan Garuda Indonesia
Yang tidak kalah menarik peranan Radio Rimba Raya milik Divisi X Komandemen Sumatera yang mengudara ke seluruh dunia dalam enam bahasa, Indonesia, Inggris, Urdu, Cina, Belanda dan bahasa Arab, luar biasa sekali ya. Awalnya pimpinan Abu Daud Beureueh, melalui Kolonel Husein Yusuf, maka diperintahkanlah saudara Nif Karim untuk berangkat ke Singapura membeli seperangkat alat radio, yang kemudian diselundupkan melalui selat Malaka menuju perairan Aceh.

Tujuan Radio Rimba Raya mengudara ke seluruh dunia pada tanggal 20 Desember 1948 adalah untuk memblokade siaran propaganda Radio Hervenzent Belanda yang ada di Batavia yang menyiarkan bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Dalam siaran Radio Belanda tersebut disiarkan berita bahwa, seluruh wilayah nusantara sudah habis dikuasai oleh Belanda, tapi faktanya Aceh masih tetap utuh dan tak pernah berhasil dikuasai Belanda. 
Radio Rimba Raya sekarang, sumber gambar di sini
Walaupun Radio Rimba Raya tersebut ala kadarnya, tetapi bisa mempengaruhi Dewan Keamanan PBB, dan dapat merubah opini dunia internasional, karena berita yang disiarkan berbunyi, “Republik Indonesia masih ada, karena pemimpinnya masih ada, Pemerintahannya masih ada, dan disini adalah Aceh “, yang akhirnya PBB membuat kebijakan agar segera mengirim tim peninjau ke Indonesia, untuk membuktikan pernyataan yang disiarkan oleh Radio Rimba Raya, karena wilayah yang satu-satunya tinggal dan tidak di sentuh Belanda adalah “ ACEH ”, ternyata berita itu benar, maka tergeraklah PBB untuk segera mengadakan perundingan Indonesia – Belanda, hingga terwujudlah Konferensi Meja Bundar (KMB), yang akhirnya menentukan kedaulatan Republik Indonesia.

Karena itu, saat kedatangan Presiden Soekarno ke Bireuen bulan Juni 1948, dalam pidatonya yang berapi-api di lapangan terbang Cot Gapu, Soekarno mengatakan, Aceh yang tidak mampu dikuasai Belanda dijadikan sebagai Daerah Modal Republik Indonesia.

Kurang lebih seminggu keberadaan Presiden Soekarno di Bireuen, kemudian beliau bersama dengan Gubernur Militer Aceh, Abu Daud Beureueh berangkat menuju Kutaradja yang sekarang dikenal dengan Banda Aceh. Di Kutaradja Abu Daud Beureueh mengundang seluruh saudagar Aceh di hotel Aceh yang berada di samping Mesjid Raya Baiturrahman. Abu Daud Beureueh menyampaikan permintaan Presiden Soekarno agar rakyat Aceh menyumbang dua pesawat terbang untuk Republik Indonesia, dan ini yang menjadi cikal bakalnya Garuda Indonesia.


Menuju Ke Bireuen
Kabupaten ini memiliki jarak kurang lebih 218 km dari pusat Kota Banda Aceh yang bisa ditempuh dengan kendaraan umum roda empat atau roda dua sekitar waktu 4 jam perjalanan. Kita juga bisa menggunakan angkutan umum L300 yang ada di Terminal Batoh dan Leung Bata di Banda Aceh dengan biaya Rp.50.000.


Menarik ya? kalau ke Aceh, ayo berwisata ke Kabupaten Bireuen.

Sumber Tulisan : 

  1. Mengutip Jejak Sejarah Aceh 
    http://pdia.acehprov.go.id/berita/mengutip-jejak-sejarah-aceh/
  2. Bireuen, Ibukota Ketiga Republik Indonesia (1948) 
    http://www.lintas.me/news/indonesiaku/habapost.wordpress.com/bireuen-ibukota-ketiga-republik-indonesia-1948
  3. Bireuen Sebuah Benang Merah Sejarah Yang Terputus  
    http://chaerolriezal.blogspot.com/2012/12/bireuen-sebuah-benang-merah-sejarah.html
  4. Radio Rimba Raya Menggugat Republik Indonesia Masih Ada
    http://thesejarahkita.blogspot.com/2010/10/radio-rimba-raya-menggugat-republik.html

http://menulisbireuen.blogspot.com/Tulisan ini diikutkan dalam Bireuen Blog Writing Competition 2014 dan untuk memperingati HUT Kabupaten Bireuen yang ke-15.
Selamat Ulang Tahun Kabupaten Bireuen, Semoga kita Sejarah Bireuen yang luar biasa ini jadi pijakan yang kuat untuk perkembangan pembangunan Bireuen ke depan.


2 komentar: